Jurnalis Kompas.com, Roberthus Yewen (tengah), saat bersama-sama teman-teman jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia. (Dok: Pribadi).
Pada bulan Maret 2014 saya resmi menyandang gelar sarjana di Universitas Cenderawasih, Jayapura Papua. Usai menyelesaikan studi sebagai S1 saya langsung melamarkan diri di salah satu koran terbesar dan pertama di Papua, yaitu Cenderawasih Pos atau yang familiar dikenal Cepos. Media ini memiliki home bese (kantor) di Kota Jayapura. Cepos merupakan salah satu media terbesar yang berada dibawah Group Jawa Pos.
Sejak kuliah saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi wartawan atau jurnalis. Banyak mahasiswa yang justru membanting stir atau memilih menjadi politisi, dibandingkan harus menjadi kuli tinta yang setiap harinya bekerja mencari dan meliput berita di lapangan.
Usai diterima secara resmi di Cepos, saya kemudian diuji Selama 3 bulan sebagai percobaan dalam meliput di lapangan. Saya ingat betul pertama kali ditempatkan sebagai wartawan di Pengadilan Kelas 1A Jayapura. Menjadi wartawan di pengadilan, apalagi sebagai wartawan baru bukanlah hal yang mudah, sebab kita harus bisa membangun kedekatan dengan hakim, pengacara (advokat), jaksa dan panitra di pengadilan.
Sebagai wartawan yang masih seumuran jagung tentunya ini menjadi tantangan tersendiri. Selama di pengadilan saya harus menulis tiga (3) berita setiap harinya. Hal ini agar dalam masa percobaan 3 bulan saya bisa memenuhi target dan dapat diterima secara resmi sebagai wartawan di Cepos.
Setelah tiga bulan dalam masa percobaan, maka manajemen kemudian menilai dan mengangkat saya sebagai wartawan tetap di Cepos. Usai menjadi wartawan tetap, saya kemudian dipindahkan meliput berita pemerintahan di Kantor Walikota Jayapura. Di Walikota saya hampir satu (1) tahun.
Berita pemerintahan memang tergolong mudah, tetapi target berita yang dicapai harus lebih banyak daripada sebelumnya. Setiap hari saya terus belajar untuk menulis berita lebih banyak lagi dan tak boleh puas hanya menulis tiga (3) atau empat (4) berita dalam sehari. Dinamika peliputan berita di Walikota saya lalu dengan penuh suka cita, sembari membangun kedekatan dengan rekan-rekan wartawan yang sudah senior.
4 Tahun Meliput di Kabupaten Jayapura
Setelah pos di Kantor Walikota Jayapura kurang lebih dua (2) tahun, maka sejak 2016 saya dipindahkan menjadi wartawan di Sentani, Kabupaten Jayapura. Ini merupakan tantangan baru bagi saya untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi serta membangun kepercayaan sebagai jurnalis dengan narasumber di Kabupaten Jayapura.
Hampir dua (2) tahun saya meliput berita tentang kriminal di Polres Jayapura, masalah narkoba di Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Jayapura, Bandara Sentani dan beberapa peliputan lainnya di luar dari kegiatan Pemda Kabupaten Jayapura. Hal ini lantaran ada wartawan sesama Cepos yang telah meliput di Pemda Kabupaten Jayapura, sekaligus merupakan senior saya.
Menjadi wartawan kriminal yang sehari-hari meliput di Polres Jayapura, maka saya harus bisa membangun kedekatan dengan Kapolres, para Kasat dan Kasie Humas yang sehari-hari memberikan informasi kepada wartawan. Puji Tuhan selama pergantian 3 kali Kapolres di Jayapura saya cukup membangun kedekatan dengan para komandan (Kapolres) di Polres Jayapura.
Tak hanya itu, saya juga terus membagun kedekatan dengan para narasumber lainnya, termasuk para pemuda yang ada di wilayah Sentani dan Kabupaten Jayapura. Proses adaptasi saya lakukan secara terus menerus, termasuk menjaga silahturahmi dengan teman-teman jurnalis yang sehari-hari meliput di Kabupaten Jayapura.
Alhasil, kehadiran saya di tengah-tengah para jurnalis atau wartawan dari media lain selalu dierima dengan baik, bahkan mudah bergaul dan menjaga komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Sebagai teman sesama profesi, maka hal yang paling penting adalah menjaga komunikasi dan berbagi informasi. Dua hal ini sangat penting sebagai sesama jurnalis di lapangan.
Setelah kurang lebih dua tahun menjadi wartawan yang meliput berita di luar dari Pemda Kabupaten Jayapura, maka memasuki tahun ketiga saya dipercayakan meliput berita di Pemda Kabupaten Jayapura dan berita kriminal Polres Jayapura, termasuk mengkafer semua berita yang ada di Kabupaten Jayapura. Hal ini lantaran senior saya dipindahkan menjadi redaktur (editor) di kantor.
Menjadi wartawan Cepos seorang diri dengan mengkafer semua pos liputan di Kabupaten Jayapura bukanlah sesuatu yang mudah, sebab membutuhkan kecepatan meliput dan menulis berita. Apalagi setiap hari harus mengisi satu halaman Metro Sentani di koran Cenderawasih Pos (Cepos). Sembari dalam seminggu sekali harus mengisi satu halaman kerjasama Pemda Kabupaten Jayapura.
Ini merupakan tantangan tersendiri, sebab dalam sehari saya harus bisa menulis lima (5) sampai enam (6), bahkan sampai tujuh (7) berita dalam sehari. Ditambah lagi saya harus menyisikan berita Pemda Jayapura dalam sehari minimal satu atau dua berita, sehingga dalam seminggu bisa mengisi tujuh berita di halaman kerjasama Pemda Jayapura di Cepos.
Awalnya saya merasa ini pekerjaan yang membutuhkan tenaga, pikiran dan bahkan mengeluarkan energi yang banyak, sebab harus berpikir setiap hari untuk menulis berita yang jumlah bisa mencapai lima sampai enam berita sehari. Namun, berjalannya waktu saya bisa mengatur waktu dengan baik untuk menulis berita dengan jumlah tersebut setiap harinya.
Liput Pesawat Jatuh Hingga Banjir Bandang Sentani
Di Kabupaten Jayapura saya selalu sering meliput berita-berita yang berkaitan dengan pesawat udara di Bandara Sentani, apalagi menjelang perayaan Natal, Tahun Baru dan Idul Fitri (Lebaran). Saya harus menjaga komunikasi dan kedekatan dengan Kepala Bandara Sentani, sehingga mudah mengakses peliputan di Bandara Sentani, Jayapura.
Pada tanggal 16 Agustus 2015,sehari menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia, pesawat Trigana Air dikabarkan hilang kontak di Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang. Ini merupakan pengalaman pertama saya meliput pesawat yang awalnya dinyatakan hilang kontak hingga diumumkan secara resmi oleh Basarnas bahawa pesawat tersebut jatuh di Pegunungan Bintang.
Pesawat Trigana ini membawa 54 penumpang dan awak kabin (pilot dan pramugari). Kecelakaan pesawat ini membuat saya hampir kurang lebih dua minggu harus pulang pergi base Ops Lanud Silas Papare Jayapura di Bandara Sentani ke Kota Jayapura. Saya pergi pagi dan pulang malam untuk meliput proses evakuasi korban (jenazah) yang mengalami kecelakaan Pesawat Trigana tersebut.
Meliput kecelakaan pesawat dan para korban merupakan pengalaman pertama saya sebagai wartawan. Apalagi kecelakaan pesawat ini mengakibatkan 54 penumpang dan awak kabin harus meninggal dunia. Sebagai wartawan saya tidak hanya menulis berita tentang kejadian tersebut, tetapi ini merupakan duka cita yang mendalam bagi semua keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, suasana harus selalu menyeliputi peliputan yang saya lakukan bersama teman-teman jurnalis lainnya di lapangan.
Sebagai wartawan koran cetak, saya selalu menunggu untuk mengimput semua informasi yang disampaikan oleh penanggung jawab evakuasi jenazah kecelakaan pesawat dari Basarnas sebelum menulisnya. Bahkan, kamera harus selalu aktif untuk mengambil gambar evakuasi jenazah yang dilakukan menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU.
Sebagai wartawan yang baru dua tahun tentunya ini tidak mudah, sebab saya harus bisa menyesuaikan diri dengan wartawan senior lainnya yang meliput berita kecelakaan pesawat Trigana tersebut. Belajar ingin tahu tak pernah luput dari kehidupan saya untuk selalu bertanya kepada wartawan yang lebih senior, bahkan kepada redaktur saya di kantor.
Setelah itu, pada 16 Maret 2019 Banjir Bandang di Sentani merenguk ratusan nyawa. Bahkan, ratusan warga kehilangan tempat tinggalnya. Ini merupakan pengalaman liputan yang tak pernah saya lupakan, sebab banyak tantangan, suka dan duka selama meliput korban banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura.
Saya ingat betul pada hari. Sabtu, 15 Maret 2019 terjadi hujan lebat di wilayah Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Hal ini membuat banjir bandang mengantam Sentani, bahkan air Danau Sentani naik dengan sendirinya.
Pada hari Minggu pagi saya memilih untuk ke lapangan mengecek kondisi secara langsung di Sentani. Sesampai di Sentani, saya memakirkan kendaraan (motor) saya lalu berjalan sepanjang jalan raya yang sudah ditutupi oleh lumpur, kayu-kayu besar dan bebatuan serta pasir. Saya membawa kamera untuk memoret kondisi banjir bandang tersebut. Ini merupakan pengalaman pertama meliput banjir bandang di Sentani dan melihat secara langsung proses evakuasi jenazah yang dilakukan. Bahkan, melihat kondisi korban banjir bandang yang kehilangan tempat tinggal (rumahnya).
Meliput di Daerah-Daerah Konflik
Tak hanya meliput berita di Sentani, Kabupaten Jayapura. Saya sering ditunjuk oleh kantor untuk meliput berita di daerah-daerah konflik yang ada di Papua. Beberapa daerah di pegunungan Papua sudah saya jalan dan meliput berita di sana.
Pengalaman saya waktu di daerah Ilaga, Kabupaten Puncak Papua. Saya meliput selama seminggu di sana dengan mengunjungi beberapa distrik yang ada di Kabupaten Puncak Papua. Kabupaten Puncak Papua merupakan salah satu daerah konflik di Papua.
Waktu itu, sekitar bulan Desember saya harus ditugaskan meliput kegiatan Pemda Puncak Papua selama seminggu di sana. Di Puncak Papua daerahnya dingin, sehingga hampir seminggu kita hanya bisa cuci muka atau sesekali mandi ketika siang hari.
Waktu itu, suara gema natal berbunyi di gereja dan rumah-rumah di ibu koa Puncak Papua, Ilaga. Hal ini membuat saya merindukan natal bersama keluarga. Meskipun begitu saya harus benar-benar profesional dalam menjalankan profesi saya sebagai wartawan yang diberikan penugasan meliput di Kabupaten Puncak Papua selama seminggu.
Di Kabupaten Puncak Papua saya bertemu teman lama saat masih kuliah di Universitas Cenderawasih yang merupakan guru di sana. Banyak informasi saya dapatkan darinya tentang kehidupan masyarakat Puncak Papua. Dengan begitu, saya bisa berdaptasi dan berkomunikasi dengan masyarakat di sana.
Setelah meliput seminggu, saya kemudian pulang menggunakan pesawat barling-baling satu (pesawat kecil) yang setiap hari melayani masyarakat Puncak Papua. Mengingat hari liburan dan menjelang natal membuat penerbangan selalu penuh oleh penumpang yang turun ke Ilaga dan berangkat ke Timika, Papua atau ke Jayapura.
Setelah menunggu beberapa hari, maka saya bisa pulang dari Ilaga ke Kabupaten Timika. Sesampai di Timika saya langsung membeli tiket untuk melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Ini merupakan salah satu pengalaman saya meliput di daerah konflik yang ada di wilayah pegunungan Papua.
Bergabung di Kompas.com, Sembari Mengajar Mahasiswa
Masih banyak cerita saya selama menjadi wartawan di Cepos, tetapi saya akhiri dengan cerita bagaimana saya bisa bergabung menjadi wartawan di Kompas.com. Pada awal Januari 2022 saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Cepos.
Saya bersyukur karena selama kurang lebih 8 tahun berseragam wartawan Cepos banyak hal saya belajar, terutama menulis berita yang baik dan benar serta penulisan-penulisan berita feature yang tak semua wartawan bisa menulisnya.
Setelah keluar dari Cepos saya memilih untuk menghabiskan waktu hampir sebulan di daerah perbatasan RI-PNG. Di sana saya belajar dengan seorang pastor dan mendekatkan diri dengan kehidupan masyarakat di kampung. Hal ini merupakan bagian dari refleksi perjalanan hidup saya sebagai wartawan selama ini.
Setelah itu, saya balik ke Jayapura dan melanjutkan kehidupan seperti biasanya. Pada bulan Februari 2022 saya ditawarkan untuk melamar sebagai wartawan di Kompas.com wilayah Jayapura.
Saya kemudian mengirim CV ke Kompas.com. Setelah dipelajari, maka manajemen Kompas.com kemudian menerima saya untuk menjadi wartawan di Papua dengan wilayah peliputan Jayapura dan Keerom.
Tak terasa kini sudah 10 tahun saya menjadi kuli tinta atau waratawan di lapangan. Sembari menjadi jurnalis, saya juga menghabiskan sebagian waktu saya untuk mengajar para mahasiswa di Papua dan terlibat dalam gerakan literasi menulis dan literasi digital di Papua.
Inilah sedikit kisah perjalanan hidup saya sebagai wartawan di lapangan hingga saat ini. Di akhir dari tulisan ini saya ingin mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari 2023.
Menulis dan Editor Puluhan Buku
Tak hanya menjadi jurnalis. Yewen sendiri terinspirasi dari kata pendiri KOMPAS, Yacob Oetama yang mengatakan “buku adalah langkah selanjutnya setelah koran dan buku adalah mahkota wartawan”. Kata-kata inilah yang memacunya selama ini untuk terus menulis puluhan buku.
Selain menulis, Yewen aktif juga menjadi editor beberapa karya buku yang ditulis oleh para mahasiswa. Hal ini terbukti dengan beberapa buku yang telah terbit hasil editor dari Yewen.
“Saya sudah menulis kurang lebih 11 buku. Buku yang saya tulis sendiri ada sekitar 5 buku dan saya menulis bareng bersama kawan-kawan ada sekitar 6 buku,” ucapnya.
“Selain itu, saya juga aktif mengedit beberapa buku karya para pemuda dan mahasiswa. Bukunya telah terbit,” tambahnya.
Yewen menjelaskan, buku yang ditulis sendiri seperti misalnya Cinta Mama Tak Pernah Pudar, Pendidikan Pertama di Suku Wano, Sosiologi Kemitraan, dan terakhir dan baru diterbitkan adalah buku tentang karya pelayanan dan pengabdian yang dilakukan oleh Pastor Anton Tromp, OSA.
“Saat ini saya aktif menulis di Kompas.com, sambil menghabiskan waktu juga mengedit dan menulis buku. Ini merupakan pekerjaan yang saya tekuni setiap hari dan sudah menjadi bagian dari hidup saya sehari-hari,” jelasnya.
Dia berharap, kedepan akan lahir banyak penulis-penulis muda Papua yang kreatif dan inovatif seperti tak pernah berhenti untuk belajar menjadi penulis yang hebat dikemudian harinya.
Penulis: Mutiara Lembah
0 Komentar