Dalam Pembentukannya, Etnis-Etnis di Teluk Humboldt Jayapura Telah Saling Merangkul dan Menerima

Teluk Humboldt, terlihat dari kejahuan. Dibawahnya terdapat Kampung Enggros dan Tobati di Kota Jayapura, Papua. (Foto: Istimewa).


JAYAPURA,SUARAMATYAF- Antropolog Universitas Cenderawasih, Handro Lekitoo mengatakan interaksi etnis di Kota Jayapura sebenarnya jika dilihat sangat ditentukan oleh suku-suku yang berada dan mendiami Teluk Humboldt ini, misalnya Suku Tobati-Enggros, Kayu Batu, Kayu Pulau Nafri, Waena, Yoka, Skouw Sae, Yambe, dan Skouw Mabo.
 

"Ini suku-suku yang sebenarnya ini kalau saya mau melihat dalam satu kategori suku di Papua, dimana kalau dilihat dari Pdt. Van Hasselt bilang ketika datang ke Teluk Humboldt Van Hasselt bilang suku-suku yang ada di Teluk Humboldt ini adalah mereka yang "suka damai"," katanya kepada cenderawasih pos di Kotaraja Distrik Abepura Kota Jayapura, Senin (17/2).

 

Menurut Lekitoo, ada salah satu falsafah hidup masyarakat di Teluk Humboldt yang disebut sebagai "MREC", yaitu damai di bawah pihak Ondoafi. Oleh karena itu, apa yang dilihat oleh Van Hasselt ini sebenarnya hari ini berdampak positif terhadap Kota Jayapura. Apalagi dengan munculnya figur-figur atau tokoh-tokoh pemimpin seperti Benhur Tommy Mano dengan motto Kota Jayapura, yaitu Hen Tecahi Yo Onomi T'mar Ni Hanased (Satu Hati Membangun Kota Untuk Kemulian Tuhan).

 

"Saya lihat ini sesuatu yang sangat luar biasa, karena saya melihat bagaimana etnis-etnis yang ada di Kota Jayapura ini dalam proses pembentukannya saling mengakui dan menerima, dimana dalam Antropologi menyebutkan dengan Resiprositas. Dimana saling mengakui dan memberi," ucap pria kelahiran Teluk Wondama ini.

 

Lekitoo mengatakan, proses saling mengakui dan menerima itulah yang saat ini terjadi di Kota Jayapura, seperti misalnya suku-suku dari luar Kota Jayapura datang mereka menerimanya dengan senang hati yang terpenting adalah bagaimana orang tersebut bisa hidup rukun dengan suku-suku yang ada di Teluk Humboldt ini. Apalagi figur Benhur Tommy Mano yang selama ini sebagai figur yang telah menunjukkan proses pengakuan dan saling menerima.

 

Lekitoo memberikan contoh bagaimana orang Buton di Pulau Kosong mereka hidup sudah hampir kurang lebih 50 tahun di situ, tanpa bayar satu rupiah pun untuk Pulau Kosong. Demikian pun orang Serui Ambay di Kampung Vietnam di Argapura Laut, dimana tahun 1974 berada di situ dan sampai hari ini tidak bayar satu rupiah pun. Tetapi orang Kayu Pulau yang mempunyai tempat dapat menerima mereka dengan baik sekali dan saling menghargai dan menerima dan hidup dengan rukun di tempat tersebut.

 

"Ketika orang Kayu Pulau ada susah atau ada buka meja dan mereka-mereka ini diundang untuk memberikan sesuatu. Saya lihat ini kehidupan yang saling mengakui dan menerima," katanya.

 

Likito mengatakan, hal ini penting sekali karena dalam kehidupan hari ini memang tidak bisa membatasi dalam suku-suku, etnis-etnis, seperti yang terjadi hari ini konflik suku, ras, agama (SARA) yang terjadi di wilayah Indonesia bagian barat, dimana banyak orang menutup diri dalam kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu, dirinya melihat Kota Jayapura ini sebagai potret yang sebenarnya mempertontonkan dan mempertunjukkan toleransi bagai dunia luar atau bagi Indonesia lain atau tanah Papua yang lain.

 

Hal ini tidak terlepas dari figur Benhur Tommy Mano dengan motto Kota Jayapura yang sudah berjalan hampir 10 tahun. Ditambah dengan nilai-nilai Injil dan nilai-nilai lain yang membawa persatuan, persekutuan, persatuan, kasih dan lain sebagainya dalam kehidupan sebagai sesama manusia di Kota Jayapura.

 

"Identitas itu sebenarnya mencair dan tidak kaku. Saya ingin bilang bahwa identitas itu tidak bisa kita pasung dia menjadi kaku dan tidak bisa kita bilang kita satu suku, satu agama, dan kita terjebak dalam identitas suku dan agama, tetapi identitas itu bisa mencair ke mana-mana, bisa berdialog dan menjadi bagian dari kelompok-kelompok lain dengan empat hal, yaitu kekerabatan, ekonomi, politik, dan keagamaan," ujar Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) ini.

 

Lekitoo
menyatakan, dengan nilai-nilai budaya sangat menerima dan mengakui yang ada di Kota Jayapura, maka konflik-konflik yang sebenarnya bisa berkepanjangan di Papua, khususnya di Kota Jayapura bisa diredam. Hal inilah yang menurut Likito budaya dan Injil harus dipertontonkan dalam kaitannya dengan toleransi antara umat beragama dan suku yang ada di Kota Jayapura.

 

"Saya harap dengan prinsi-prinsip saling menerima dan mengakui yang telah terbangun selama ini antara etnis yang ada di Kota Jayapura, maka toleransi tetap terjaga selalu," harapnya. 


Penulis: Mutiara Lembah


Posting Komentar

0 Komentar

DPP ICAKAP Siap Gelar Rakernas ke IV di Kota Sorong, Papua Barat Daya