Kisah Perjalanan Christian Rettob, Saat Membaca dan Melihat Kehidupan Suku Kamoro di Timika, Papua

Sekjen PP PMKRI, St. Thomas Aquinas periode 2022-2024, Christian A.D. Rettob, saat berfoto bersama dengan anak-anak di Kampung Pomako, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, baru-baru ini. 


Oleh: Christian A. D. Rettob 

(Sekjen PP PMKRI, St.Thomas Aquinas Periode 2022-2024)


Tulisan ini semacam testimoni pendek yang bersifat deskriptif. Berangkat dari pengalaman membaca, mengunjungi, hingga turut berandil dalam Launching dan Bedah Buku: “Kamoro, Kebudayaan Masyarakat dan Perubahan Sosial”. Aspek yang digambarkan cukup komprehensif, baik dari nilai sejarah, peradaban pendidikan, budaya higga perubahan sosial.

Suku Kamoro merupakan salah satu suku asli yang mendiami Kabupaten Mimika, Papua. Suku Kamoro tersebar di  wilayah pesisir, mulai dari Timika bagian Timur hingga Timika bagian Barat. Kamoro adalah satu dari 255 suku asli di Papua yang kehidupannya tidaklah jauh berbeda. Sebagai objek penulisan, Buku Kamoro diharapkan dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan negara dengan kehidupan Orang Kamoro dan Papua pada umumnya. 

Keadaan morfologis Suku Kamoro tentunya sudah digambarkan melalui buku tersebut. Pada konteks ini, upaya meresensi Buku Kamoro adalah bentuk pertanggungjawaban moral bahwa saya pernah membaca dan berkunjung ke Kamoro.

Sembilan puluh delapan tahun lalu, tepatnya 9 Mei 1926, Uskup Mgr Johannes Aerts, MSC dan Pastor F. Kowatsky tiba di Kokonao. Mereka datang dari Langgur, membawa dua orang guru dari Kei, yakni Benediktus Renyaan dan Christian Rettob. Fakta ini bukan datang dari saya melainkan tertuang dalam buku ini, halaman 84-85.

Hampir 100 tahun setelah kedatangan Guru Christian Rettob, barulah saya Christian Rettob juga datang ke sini. Jika guru Christian Rettob dan Benediktus Renyaan datang dan mendirikan Sekolah Peradaban (Bescaving School) di tanah Kamoro, maka saya hanya datang sesaat saja untuk mengapresiasi Buku Kamoro, karya anak-anak muda Papua yang luar biasa.

Komposisi penulis dan editor, yang bisa kita lihat dari marga, tempat lahir, sungguh pas dengan gambaran dalam lirik lagu "Suara dari Kemiskinan" karya Franky Sahilatua, yang juga menulis lagu "Aku Papua".  Sebagaimana lirik awal lagu "Suara dari Kemiskinan" adalah sebagai berikut:

"Aku adalah Papua

Aku adalah Maluku

Akulah Nusa Tenggara

Akulah Sulawesi

Suara dari Kemiskinan

Yang tak pernah berujung

Semenjak republik ini berdiri

 

Tanah kami tanah kaya

Laut kami laut kaya

Kami tidur di atas emas

Berenang di atas minyak

Tapi bukan kami punya

Semua anugerah itu

Kami cuma berdagang

Buah-buah pinang."


Punya Otonomi Asli

 

Saya secara pribadi maupun Pengurus Pusat PMKRI menghormati sepenuhnya upaya teman-teman PMKRI Cabang Mimika yang sudah bekerja keras dan cerdas sampai terbitnya buku ini. Meskipun buku berjudul Kamoro, tetapi membaca buku setebal 120 halaman, terasa bagai kita memasuki separuh kehidupan asli masyarakat Papua dengan segenap problematikanya. 

Buku Kamoro memberitahu kepada kita, bahwa orang Kamoro sesungguhnya suatu komunitas masyarakat yang mempunyai otonomi asli.  Taparo dan Meramu (halaman 8-13) adalah bentuk praktik politik tradisional, yang menyangkut hak dan kewajiban atas wilayah ulayat. Artinya, orang Kamoro sebenarnya berdaulat secara politik di atas petuanannya, lengkap dengan 3S; Sagu-Sungai-Sampan.

Sungguh menarik bila membaca paragraf pada halaman 11. "Masyarakat Kamoro hidupnya adalah mencari sagu, ikan dan mencari binatang serta meramu apa yang ada di sekitar wilayah adatnya masing-masing. Masyarakat Kamoro tidak sembarangan meramu di wilayah yang bukan hak ulayatnya. Mereka meramu hanya di sekitar wilayah kekuasaan atau yang menjadi haknya masing-masing sesuai dengan pembagian klen atau marga yang ada di Suku Kamoro". 

Bahwa orang Kamoro tidak sembarang meramu di wilayah yang bukan hak ulayatnya. Hal ini sama persis dengan Suku Tobelo Dalam atau biasa disebut Suku Togutil di Halmahera. Apabila hewan buruan berlari melintasi sungai, maka perburuan dihentikan. Sebab, hewan yang berlari ke seberang, akan menjadi milik warga di seberang sungai. Bukankah ini sebuah nilai luhur, yang harus terus hidup di Kamoro. Nilai inilah yang hilang di Indonesia, sehingga dari Sabang sampai Merauke berjajar koruptor-koruptor.

Buku ini berkisah pula tentang Bahasa Kamoro, makanan orang Kamoro, busana orang Kamoro, kesenian orang Kamoro (ukir, musik, lagu, tari), dan ritual-ritual adat. Bukankah bahasa, makanan, busana, seni, telah menjadi bukti bahwa orang Kamoro bermartabat secara budaya? Semoga orang muda Kamoro tetap teguh percaya diri dan bangga dengan papeda, sagu tindis, tambelo, ulat sagu, karaka, dan sebagainya, dan tidak pernah merasa minder di hadapan nasi, ayam goreng kentucky (KFC), roti dan biskuit, atau 'candu' bernama "mie instant".

Memaknai Kehidupan Suku Kamoro

Kembali kepada 3S Sagu-Sungai-Sampan, buku ini menyuguhkan ironi, pada paragraf pertama dan kedua halaman 35; “Meskipun demikian, hutan sagu di Papua mulai berkurang. Hal ini disebabkan oleh pembangunan yang semakin pesat. Selain itu, hutan sagu sebagian besar digantikan dengan perusahaan kelapa sawit. Meskipun demikian, masih ada sebagian besar masyarakat di Papua, terutama di kampung-kampung masih mempertahankan dan menjaga dengan baik hutan sagunya masing-masing”.

Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat Kamoro dan Papua paa umumnya. Sagu dapat kita jumpai di mana saja dan dikonsumsi oleh siapa saja dengan proses pengolahan yang variatif dan tentu mempunyai nilai dan fungsi sosial. Apakah sagu di Kamoro atau di Mimika diproteksi dengan perundang-undangan?  Adakah regulasi (Perda) tentang Sagu, Dewan atau Badan Sagu, yang bisa melindungi lahan sagu dari gempuran kelapa sawit?  Kalau sudah, ya puji Tuhan. Tetapi jika belum ada perlindungan secara hukum, masyarakat adat bisa memulainya dengan membuat peraturan sendiri agar tidak terjadi "alih fungsi lahan sagu".

Pada Bab III Buku Kamoro, terlihat potret keadaan Kampung Pomako, pasar Pomako, perumahan dan pelabuhan, harga dan jenis ikan, koperasi dan transportasi. Di sinilah perjumpaan sengit masyarakat asli dengan pendatang, masyarakat dengan pasar, masyarakat dengan pemerintah dan dunia usaha. Sebagaimana di berbagai belahan bumi, jika perjumpaan ini tidak dikelola secara arif dan bijaksana, terjadilah proses peminggiran masyarakat asli atau lokal sehingga mereka menjadi orang kalah di atas tanahnya sendiri; bukan karena miskin, melainkan dimiskinkan. 

Papua bukan tanah yang kosong. Masyarakat pendatang wajib mempunyai kesadaran sosial. Bahwa hidup di “Tanah Papua”, seyogyanya wajib memberikan penghormatan yang besar terhadap orang dan suku asli Papua.

Pada Bab IV Buku Kamoro, mendeskripsikan rekonsiliasi di Kokonao. Pembakaran dosa di masa lalu dan kebangkitan orang Mimika. Bab ini sangat menarik karena terdapat kemesraan antara gereja dan adat (inkulturasi). Syahadat Katolik; "Aku percaya akan roh kudus, gereja katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal". Pengampunan dosa, adalah sebuah sakramen. Proses penyucian diri secara personal maupun komunitas atau jemaat, tentulah sangat penting sehingga di dalam kelegaan setelah terlepas dari dosa-dosa, orang-orang yang bebas atau dibebaskan bisa secara merdeka menatap masa depannya.

Membangun Anjungan PMKRI

Catatan yang terakhir, setelah membaca buku ini, saya ingin mengajukan tantangan kepada PMKRI Mimika. Apakah PMKRI bisa membangun anjungan PMKRI di tengah pemukiman kumuh Pomako.  Untuk apa?  Di sana PMKRI bisa punya cukup waktu untuk duduk, berdiskusi, berkutat dengan keseharian orang Pomako. Dengan terlibat langsung dan berpihak, punya data dan informasi, punya gagasan dan rancangan, saya yakin, suara PMKRI untuk kepentingan masyarakat, pasti didengar oleh pemerintah daerah.

Proficiat untuk penulisan, penerbitan, hingga peluncuran dan diskusi yang telah terlaksana.  Apresiasi diberikan kepada para penulis dan editor.  Saudara-saudara saya yang cantik-cantik dan tampan-tampan: Mersi Sundung, John Rifaldo Fautngilyanan, Angelberta Boi Duli, Ignasia Inayati Iku, Moses Wenakomunaro, Anna Gracia Lasol, Simon Seja, Natalia Rueng, Rosalina Putri Larasati Rahayaan, dan Roberthus Yewen.

Konfigurasi penulis dan editor yang terdiri dari Putera-Puteri Papua asal Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi, kiranya bisa menginspirasi kita untuk membangun koalisi besar Indonesia Timur, yang lebih bermakna dan hidup-hidupan.


Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP PMKRI Periode 2022-2024

Posting Komentar

0 Komentar

DPP ICAKAP Siap Gelar Rakernas ke IV di Kota Sorong, Papua Barat Daya